Meningitis adalah radang pada
meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan
oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi
akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme
pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan
aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan
pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan
proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
Jadi meningitis adalah suatu reksi
keradangan yang mengenai satu atau semua apisan selaput yang membungkus
jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus
atau serosa. Disebabkan oleh bakteri
spesifik atau nonspesifik atau virus.
B. ETIOLOGI
1. Bakteri;
Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa
2. Faktor
predisposisi : jenis kelamin, laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita
3. Faktor
maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
4. Faktor
imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak yang
mendapat obat-obat imunosupresi.
5. Anak
dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan.
C. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor risiko yang
dapat meningkatkan meningitis, antara lain :
- Usia, banyak kasus meningitis terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
- Beberapa pada lingkungan sosial dimana kontak sosial banyak berlangsung sehingga mempermudah penyebaran faktor penyebab meningitis, contohnya sekolah, kamp militer, kampus, dsb.
- Kehamilan. Jika sedang hamil, terjadi peningkatan listeriosis – infeksi yang disebabkan oleh bakteri listeria yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jika memiliki listeriosis, maka janin dalam kandungan juga memiliki risiko yang sama.
- Bekerja dengan hewan ternak dimana juga dapat meningkatkan risiko listeria yang juga dapat meningkatkan risiko meningitis.
- Memiliki sistem imun yang lemah.
Laki-laki
lebih sering terkena dibandingkan dengan perempuan terutama pada periode
neonatal. Angka kesakitan tertinggi setelah timbulnya meningitis mengenai
anak-anak pada usia antara kelahiran sampai dengan empat tahun (dibawah lima
tahun). Faktor maternal seperti ketuban pecah dini dan infeksi ibu hamil selama
trimester akhir merupakan penyebab utama meningitis neonatal.
Terjadinya
defisiensi pada mekanisme imun dan berkurnagnya aktivitas leukosit dapat
mempengaruhi insiden pada bayi baru lahir, anak-anak dengan defisiensi imunoglobulin,
dan anak-anak yang menerima obat-obatan imunosupresif. Menignitis yang muncul
sebgaai perluasan dari infeksi-infeksi bakteri yang bervariasi kemungkinan
disebabkan kurangnya resistensi terhadap berbagai organisme penyebab. Adanya
kelainan SSP, prosedur/trauma bedah saraf, infeksi-infeksi primer dilain organ
merupakan faktor-faktor yang dihubungkna dengan mudahnya terkena penyakit ini.
D. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI
Meningitis
di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang khusus. Daerah ini
yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang lebih
10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger, Nigeria,
Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. Di daerah ini, infeksi
meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap tahun
sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir musim
kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. Pada saat puncak
terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai 1000/100.000 penduduk.
Sejak
akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang disebabkan oleh galur-galur
N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat. Wabah yang
paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan meyebar ke selatan dan kemudian
ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A
yaitu subgrup I dan III). Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen India pada
tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah,
kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab
dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari
daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di
tahun 1996. Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya
16.000 meninggal.
Di
banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun.
Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan
ET-37. Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi
hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak
pertengahan tahun 1970-an, derajat serangan penyakit yang relatif tinggi dan
persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini
beredar di antara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi
derajat virulensinya tinggi. Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan
di Cina pada tahun 1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Thailand,
Spanyol, Cuba, Cili dan Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke
Afrika Utara dan Australia. Di Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada
imigran dari Kuba, tetapi berbeda dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak
terjadi wabah yang besar.
Pada
saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang
termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25)
timbul di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini
merupakan klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa.
Galur
yang termasuk ET-37 menyebabkan wabah di antara personil militer di Amerika.
Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15 muncul pada akhir tahun 1980-an di
Amerika Utara dan menyebabkan meningkatnya angka serangan infeksi meningokokal
di daerah ini. Pada sebagian daerah di Amerika, serogrup Y, muncul sejak th
1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus endemis. Sekitar
satu-per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan oleh
serogrup Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh
serogrup B. Studi epidemiologis dengan metode molekuler telah menunjukan
suatu gambaran yang kompleks mengenai kelompok klon meningokokal patogenik yang
menyebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia. Namun demikian, mekanisme
dengan cara bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas
di suatu daerah sedangkan daerah lain tidak terkenai, masih merupakan suatu
pertanyaan .
E.
KLASIFIKASI
Meningitis dibagi menjadi 2
golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1.
Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab
lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2.
Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula
spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa.
F. PATOFISIOLOGI
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang
dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dan peradangan tersebut adalah
: Hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intra kranial.
Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya
dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau pecahnya abses
serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea atau rhinorrea akibat
fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan meningitis, dimana dapat terjadi
hubungan antara GSF dan dunia luar.
Masuknya mikroorganisme ke susunan saraf pusat melalui ruang sub arachnoid
dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel.
Dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel,
edema dan skar jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan
menimbulkan hidrosefalus
Meningitis bakteri, netrofil, monosit, limfosit, dan yang lainnya merupakan
sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin dan lekosit yang di
bentuk diruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF disekitar otak dan medula
spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan
ruptur atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi
infarct.
Meningitis virus sebagai akibat dari penyakit virus seperti meales, mump,
herpes simplek dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya tidak
terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi
adalah ;
1. Gangguan pembekuan darah
2. Syok septic
3. Demam yang memanjang
4. Hidrosefalus obstruktif
5. MeningococcL Septicemia (
mengingocemia )
6. Sindrome water-friderichen
(septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
7. SIADH ( Syndrome Inappropriate
Antidiuretic hormone )
8. Efusi subdural
9. Kejang Edema dan herniasi
serebral
10. Cerebral palsy
11. Gangguan mental Gangguan belajar
12. Attention deficit disorder
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi biasanya
dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein.cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Meningitis bacterial : tekanan
meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa
menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri.
Meningitis Virus : tekanan
bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein normal, kultur
biasanya negative
2. Glukosa & LDH : meningkat
3. LED/ESRD : meningkat
4. CT Scan/MRI : melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel,
hematom, hemoragik
Rontgent kepala :
mengindikasikan infeksi intracranial.
5. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat
mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
6. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam
melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral,
hemoragik atau tumor
7. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada
indikasi sumber infeksi intra kranial.
8. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan
peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
I. PROGNOSIS
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau
mental atau meninggal tergantung :
1. umur penderita.
2. Jenis kuman penyebab
3. Berat ringan infeksi
4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
6. Adanya dan penanganan penyakit
J. PENEGAKAN DIAGNOSA
Menegakkan diagnosis meningitis
otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin, lumbal punksi, foto
mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan.
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
- Adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media dan mastoiditis.
- Adanya tanda-tanda dan gejala meningitis, seperti demam, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
- Laboratorium rutin:
Adanya peningkatan dari lekosit dan
LED [laju endapan darah] yang menunjukkan proses infeksi akut “shift to the
left”
- Lumbal Punksi:
Untuk membedakan meningitis
bakterial, viral dan jamur.
- Foto Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan
pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang
gambaran abscess.
- 5. Head CT-scan / MRI
Adanya gambaran mastoiditis dan
cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral, subdural empyema, dan
lain-lain.
Diagnosis
meningitis akut bakteri tidak dapat dibuat berdasarkan gejala klinis. Diagnosis
pasti hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal
melalui lumbal pungsi. Tekanan cairan dukur dan cairannya diambil untuk kultur,
pewarnaan gram, hitung jenis, serta menentukan kadar glukosa dna protein.
Penemuan ini umumnya diagnostik kultur dan pewarnaa gram dibutuhkan untuk
menentukan kuman penyebab. Tekanan cairan serebrospinal biasanya meningkat,
tetapi interpretasinya seringkali sulit bila anak sedang menangis.
Umumnya
dijumpai leukositosis dengan predominan leukosit PMN, tapi bisa sangat
bervariasi. Warna cairan biasanya opalesen sampai keruh, reaksi nonne dan pandy
akan positif. Kadar khlorida akan menurun tapi ini tidak selalu terjadi. Kadar
glukosa berkurang, umumnya sesuai perbandingan lamanya dan beratnya infeksi.
Hubungan antara glukosa dalam cairan serebrospinal dengan glukosa darah sangat
penting dalam mengevaluasi kadar glukosa dalam cairan serebrospinal, oleh
karena itu sampel glukosa darah diambil kira-kira 30 menit sebelum lumbal
pungsi. Konsentrasi protein biasanya meningkat.
Kultur
darah dianjurkan pada anak-anak yang dicurigai menderita meningitis. Dijumpai
leukositosis, pergeseran ke kiri, dan anemia megaloblastik.
Metode lain yang digunakan untuk
mendiagnosa meningitis ini termasuk:
- Penghitungan darah dengan lengkap untuk mendeteksi anemia dan infeksi (oleh jumlah WBC yang mengangkat)
- Darah budaya untuk mendiagnosis infeksi dan septicaemia
- Glukosa darah untuk membandingkannya dengan CSF glukosa
- Tes fungsi ginjal dan hati
- Tes untuk memeriksa kemampuan pembekuan darah yang memadai
- Sinar X dada untuk mendeteksi patologi paru-paru seperti paru-paru abses, tuberkulosis dll.
- Urin budaya untuk mendeteksi organisme
- Usap hidung dan bangku untuk virologi jika meningitis virus diduga
- Seluruh darah real-time PCR pengujian (EDTA sampel) untuk N. meningitidis untuk mengkonfirmasi diagnosis penyakit meningococcal
- CT scan atau computed tomography scan dan scan MRI (Magnetic resonance imaging scan) untuk memeriksa tumor otak, abses dan patologi lain.
- Tes darah antigen untuk Cryptococcus dan tinta India dan CSF antigen cryptococcal
- Darah tes untuk sifilis jika sifilis keterlibatan meninges diduga.
Pada
keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan kesadaran,
pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk
menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Bagaimanapun, pengobatan
antibiotik empiris harus dilakukan sebelum CT-Scan dan lumbal punksi
dilaksanakan. pada meningitis fase akut, Pemeriksaan CT-Scan biasanya norma.
Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran CT-Scan, kecuali pada
iskemik yang disebankan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi pada
lebih dari 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan penting dan cukup untuk mengetahui
kelainan pada basis cranii yang mungkin sebagai penyebab dan menentukan
penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan. Sumber infeksi yang
potensial diantaranya adalah fraktur sinus paranasal dan os petrosa maupun
infeksi telinga bagian dalam dan mastoitis. CT venografi merupakan pemeriksaan
yang sangat baik untuk mendiagnosa komplikasi thrombosis sinus sagitalis dan transversa,
yang mengharuskan pemberian terapi antikoagulan heparin intra vena, pada
stadium lanjut, persistennya tanda-tanda rangsangan meningeal dipikirkan
sebagai indikasi untuk CT-Scan untuk menyingkirkan kemungkinan diserapnya
hidrosefalus. Jika drainase ventrikuler diperlukan, pemeriksaan CT-Scan
diperlukan untuk menentukan waktu operasi berikutnya. pada beberapa kasus,
efusi subdural sering ditemukan yang biasanya sembuh dengans endirinya tanpa
pengobatan. gambaran parenkim yang abnormal sebanding lurus dengan gejala
neurologis dan akan memperburuk prognosisnya.
Computed
tomography (CT) scan sering dilakukan pertama kali untuk mengecualikan
kontraindikasi untuk pungsi lumbal. Sayangnya, sementara tekanan
intrakranial meningkat dianggap sebagai kontraindikasi untuk pungsi lumbal, CT
scan yang normal temuan mungkin tidak cukup bukti tekanan intrakranial yang
normal pada pasien dengan meningitis bakteri. Nonenhanced CT scan dan
gambar resonansi magnetik (MRI) dari pasien dengan meningitis bakteri akut rumit
mungkin biasa-biasa saja.
Saat ini, MRI adalah modalitas
pencitraan yang paling sensitif, karena kehadiran dan luasnya perubahan
peradangan di meninges, serta komplikasi, dapat dideteksi. MRI lebih
unggul CT scan dalam evaluasi pasien dengan meningitis diduga, serta
menunjukkan peningkatan leptomeningeal dan distensi dari ruang subarachnoid
dengan pelebaran fisura interhemispheric, yang dilaporkan menjadi temuan awal
meningitis parah. Efusi, hidrosefalus, cerebritis, dan abses dapat
dievaluasi dengan baik dengan CT scan dan ultrasonografi (AS) pada bayi, namun,
MRI adalah modalitas yang paling efektif untuk melokalisir tingkat
patologi. Radiografi dada dapat diperoleh untuk mencari tanda-tanda
pneumonia atau cairan di paru-paru, terutama pada anak-anak.
Magnetic
Resonance Imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin pada kasus meningitis
bakterialis tanpa komplikasi. pemeriksaan MRI akan membantu memberikan gambaran
yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang, perbaikan setelah pemberian
godalinum (gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada jaringan otak dan
meedula spinalis, namun juga pada LCS, seperti yang pernah dilaporkan pada
kasus meningitis spirosetal. penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan
MRI sangat berguna pada kasus meningitis tuberculosis. Karena visibilitas
gambaran meningen pada T1-weighted lebih bagus terlihat,maka pada meningitis
tuberculosis sangat dianjurkan untuk diperiksa dengan cara ini. hal ini sangat
penting untuk memulai pengobatan tuberculosis tersebut karena angka morbiditas
dan mortilitasnya masih sangat tinggi. penelitian terbaru mengatakan bahwa
dengan terapi adjuvan deksametason pada kasus meningitis tuberculosis dewasa
mampu menurunkan morbidtas, namun tidak mampu mencegah hendaya.
Pada
kasus komplikasi berupa kejang dan disertai dengan gejala-gejala fokal, MRI
lebih baik jika dibandingkan dengan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim
pada kasus meningoensefalitis atau komplikasi vaskulitis akibat rentetan FLAIR
(Fluid Attenuated Inversion Recovery). Pada penyakit Lyme, multifocal
nonenhancing patchy lesions dapat dilihat pada T2 W1. bersamaan dengan dugaan
pada riwayat penyakit dan kelainan patologis LCS, pemberian ceftriaxone
intravena harus segera dilakukan selama 21 hari. informasi tambahan bisa
dilakukan pada pemeriksaan Diffusion Weighted Imaging (DWI). lesi inflamasi
akut, termasuk ensefalitis, cerebritis dan tuberculosis akan terlihat gambaran
hiperintens. Neurocystecerosis akan terlihat hipointens pada DWI. diagnosis
Neurocystecerosis bisa ditegakkan dengan neuroimaging. operasi pembukaan
jaringan otak dan biopsy stereotaxic tidak diperlukan. lesi yang timbul akan
menghilang dengan pemberian praziquantel atau mebendazol. Gambaran
toxoplasmosis bervariasi pada pemeriksaan DWI. Pengobatan harus segera dilakukan,
dan respon etradap pemberian dilakukan dengan pemeriksaan ulang setelah 4
minggu.
Beberapa
pathogen berpredileksi pada lekukan batang otak, dan akan Nampak pada
pemeriksaan MRI. khususnya, pada pasdien rhombensefalitis akibat Listeria
monositogen, perlu pemberiana ntibiotik yang sesuai termasuk ampisilin.
Neurobrecellosis menunjukkan gambaran yang bervariasi, mulai dari normal hingga
inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau komplikasi vaskuler. pengobatan
penyakit ini berupa terapi empiris.
Komplikasi
vascular harus di pikirkan pada pasien dengan perburukan kondisi, walaupun
telah diterapi. Pada kasus ini, pemeriksaan DWI lebih sensitive jika
dibandingkan dengan MRI standar dalam menentukan defisit yang minimal pada
korteks, atau infakr pada substansia alba yang dalam akibat vaskulitis sepsis.
Magnetic Resonsnce Angiography (MRA) mampu menyingkirkan atau menegakkan
diagnosis vaskulitis yang akan membantu klinisi memutuskan pemberian steroid
dosis tinggi. penelitian terbaru menyatakan bahwa pemberian steroid dosis
tinggi sebelum pemberian antibiotik mampu memberikan hasil yang lebih baik,
tanpa meningkatkan efek perdarahan saluran cerna.
Ventrikulitis
piogenik merupakan kasus yang jarang ditemukan namun sangat berakibat fatal
sehingga perlu penegakan diagnosis dan terapi yang cepat. Neuroimaging
merupakan satu-satunya alat yang dipercaya untuk menegakkan penyakit yang
mengancam jiwa ini. MRI FLAIR lebih sensitif dengan menggambarkan
periventrikuler, kelainan ependimal dan pada beberapa kasus juga pada pial atau
kelainan dura-arachnoid. Debris yang ireguler pada intraventikuler merupakan
gambaran yang spesifik. MRI diperlukan untuk mengetahui ruptur intraventrikuler
akibat abses piogenik. terapi antibiotik intravena dosis tinggi harus diberikan
selama beberapa minggu.Pada kasus yang etrjadi perburukan kondisi pasien
walaupun telah diberikan terapi antibiotic intravena dosis tinggi, tindakan
Ommaya harus dilakukan.
Dalam
kasus rumit meningitis purulen, awal CT scan dan MRI biasanya menunjukkan
temuan normal atau ventrikel kecil dan penipisan dari sulci. Nilai CT scan
dalam diagnosis awal subdural empiema terbatas karena adanya artefak tulang.
Peningkatan
meninges terlihat pada kontras ditingkatkan CT scan dan MRI dalam kasus-kasus
meningitis bakteri. Namun, peningkatan meningeal yang spesifik dan juga
bisa disebabkan oleh 5 subkelompok berikut etiologi yang berbeda:
- Infeksi
- Carcinomatous meningitis
- Reaktif (misalnya, bedah, shunt, trauma)
- Kimia (misalnya, pecah kista dermoid dan cysticercoid, intratekal kemoterapi)
- Inflamasi (misalnya, sarcoidosis, penyakit kolagen vaskular
K. TERAPI
Tujuan terapi adalah menghilangkan
infeksi dengan menurunkan tanda-tanda dan gejala serta mencegah kerusakan
neurologik seperti kejang, tuli, koma dan kematian.
Prinsip umum terapi
- Pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi penunjang lain yang penting untuk pasien penderita meningitis akut
- Terapi antibiotika empirik harus diberikan sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan
- Meningitis yang disebabkan oleh S pneumonia, N meningitidis, H influenza dapat sukses diterapi dengan antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian lbih lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi L monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik. Terapi seharusnya secara idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi antibiotik lebih lama.
Terapi Farmakologi
- Peningkatan inflamasi selaput otak akan meningkatkan penetrasi antibiotik. Masalah penetrasi AB dapat diatasi dengan pemberian AB langsung secara intratekal, intrasisternal, atau intraventrikuler.
- Faktor2 yang memperkuat penetrasi ke CSS adalah BM yang rendah, molekul yang tidak terion, kearutan dalam lemak, dan ikatan protein yang kecil.
- Deksametason sebagai terapi adjuvan, juga sering digunakan pada kasus meningitis anak, karena dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada konsentrasi glukosa dan laktat CSS serta juga mnurunkan dengan nyata kejadian gangguan neurologi yang umum berkaitan dengan meningitis
- The american academy of pediatric menyarankan penggunaan deksa untuk bayi dan anak berusia 2 bulan atau lebih tua yang menderita meningitis pneumokokus dan meningitis H influenza. Dosis umum deksa Iv adalah 0,15 mg/kg setiap 6jam selama 4 hari. Atau deksa 0,15 mg/kg setiap 6jam untuk 2 hari atau 0,4 mg/kg setiap 12 jam untuk 2 hari, efektifitasnya sebandig dan kurang menimbulkan toksisitas potensial.
- Deksa harus diberikan sebelum dosis pertama AB dan Hb dan tinja guaiak (pucat) harus dimonitor untuk mengethui pendarahan saluran cerna.
Pada jam-jam pertama, penderita
harus diamati secara intensif karena shock dapat terjadi setelah
penderita mendapat antibiotika. Perlu diingat bahwa mengikuti perkembangan (monitor)
tekanan darah sistolik pada penderita anak-anak tidaklah memadai untuk
dapat mengawasi terjadinya shock. Indikator yang lebih baik adalah:
tekanan darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler yang terlambat,
ekstrimitas yang dingin, dan takikardia. Terapi antibiotika harus dimulai
sedini mungkin. Keprihatinan bahwa pemberian antibiotika yang dini menyebabkan
bertambah buruknya keadaan klinik penderita karena antibiotika (terutama dari
golongan β-lactam) menginduksi pelepasan endotoksin belum pernah terbukti
secara klinis. Sebaliknya, penundaan terapi antibiotika dapat berakibat
meningkatnya proses-proses bakteriologis dan menyebabkan response peradangan
yang berakibat buruk. Bilamana pemberian antibiotika dilakukan pada waktu
penyakit telah berjalan lanjut misalnya pada saat lesi iskemik telah berjalan,
lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek antibiotika.
Penanganan shock perlu
dilakukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Oleh karena disamping terjadi
kebocoran kapiler secara ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti oleh depresi
kardiac yang berat sehingga dapat timbul kongesti pulmonal, maka jumlah
pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara umum, suport inotropik dan
vasopresif dibutuhkan sejak awal penyakit. Hipoglikemia mungkin ditemukan pada
bayi, dan ini perlu segera dikoreksi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan
FMS masih bersifat kontroversial. Sampai awal tahun 1980-an, pemakaian
glukokortikoid secara luas diterima sebagai terapi baku yang dapat menurunkan
angka kematian pada infeksi meningokok .
Pada keadaan di mana tidak ada
ancaman untuk terjadinya hernia serebral atau shock, pengobatan
meningitis meningokok secara relatif lebih sederhana dan hanya membutuhkan
antibiotik parenteral serta pengawasan yang intensif dari penderita.
Penanganan penderita meningitis
bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan.
Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni penatalaksanaan
konservatif/ medikal dan operatif.
1.
Terapi Konservatif/Medikal
a.
Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika,
harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan Lumbal Punksi guna pembrian
antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika
atas dasar umur :
Pemilihan antimikrobial pada
meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus
sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi.
Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan
pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF
akan menjadi negatif.
Beberapa dosis obat antibiotika
berdasarkan identifikasi kuman.
b.
Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi
steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi
pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan
dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin
tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan
untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan
menimbulkan defisit neurologik fokal.
Lebel et al (1988) melakukan
penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita meningitis bacterial karena H.
influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15 mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4
hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan 24 jam
kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan
penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala
sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason
adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan
pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada
penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan
intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason
yang cukup banyak seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi
imun seluler sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi
penetrasi antibiotika kedalam CSF.
2.
Terapi Operatif
Penanganan fokal infeksi dengan
tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin
eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Maka sering diperlukan
mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah untuk memaparkan dan
mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi bakteri. Selain
itu juga dapat dilakukan tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual
dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad
spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan
memberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis
media.
DAFTAR
PUSTAKA
Lesmana, Murad. 2000. Epidemiologi,
patogenesis dan gambaran klinis dari infeksi meningokok. Diakses tanggal 6
November 2012 dari URL : http://www.google.co.id/url?sa=f&rct=j&url=http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Vol.19_no.3_2.pdf&q=epidemiologi+meningitis&ei=a12bULGvD8j4rQeVy4HgCQ&usg=AFQjCNH32lN8FLFVLP3rJR30XjU3ZZoWvw
Rochem. 11 Januari 2012. Makalah
Penyakit Meningitis. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://rochem.wordpress.com/2012/01/11/makalah-penyakit-meningitis/
Anonim. 12 April 2012. Gejala dan
Terapi Meningitis. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://www.informasiobat.com/22-Gejala-dan-Terapi-Meningitis.html
Anonim. Maret 2011. Makalah
Infeksi Sistem Saraf Pusat. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://onlineallarticles.blogspot.com/2011/03/makalah-infeksi-sistem-saraf-pusat.html
http://health.liputan6.com/read/672372/meningitis-radang-selaput-otak-dan-sumsum-tulang-belakang#sthash.JlVy7xCf.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar