Kamis, 19 Juni 2014

PENYAKIT MENINGITIS



Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
Jadi meningitis adalah suatu reksi keradangan yang mengenai satu atau semua apisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa. Disebabkan oleh bakteri spesifik atau nonspesifik atau virus.

B.  ETIOLOGI
1.    Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2.    Faktor predisposisi : jenis kelamin, laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita
3.    Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
4.    Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak yang mendapat obat-obat imunosupresi.
5.    Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.

C. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan meningitis, antara lain :
  1. Usia, banyak kasus meningitis terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
  2. Beberapa pada lingkungan sosial dimana kontak sosial banyak berlangsung sehingga mempermudah penyebaran faktor penyebab meningitis, contohnya sekolah, kamp militer, kampus, dsb.
  3. Kehamilan. Jika sedang hamil, terjadi peningkatan listeriosis – infeksi yang disebabkan oleh bakteri listeria yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jika memiliki listeriosis, maka janin dalam kandungan juga memiliki risiko yang sama.
  4. Bekerja dengan hewan ternak dimana juga dapat meningkatkan risiko listeria yang juga dapat meningkatkan risiko meningitis.
  5. Memiliki sistem imun yang lemah.
Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan perempuan terutama pada periode neonatal. Angka kesakitan tertinggi setelah timbulnya meningitis mengenai anak-anak pada usia antara kelahiran sampai dengan empat tahun (dibawah lima tahun). Faktor maternal seperti ketuban pecah dini dan infeksi ibu hamil selama trimester akhir merupakan penyebab utama meningitis neonatal.
Terjadinya defisiensi pada mekanisme imun dan berkurnagnya aktivitas leukosit dapat mempengaruhi insiden pada bayi baru lahir, anak-anak dengan defisiensi imunoglobulin, dan anak-anak yang menerima obat-obatan imunosupresif. Menignitis yang muncul sebgaai perluasan dari infeksi-infeksi bakteri yang bervariasi kemungkinan disebabkan kurangnya resistensi terhadap berbagai organisme penyebab. Adanya kelainan SSP, prosedur/trauma bedah saraf, infeksi-infeksi primer dilain organ merupakan faktor-faktor yang dihubungkna dengan mudahnya terkena penyakit ini.
D. GAMBARAN EPIDEMIOLOGI
Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger, Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. Di daerah ini, infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap tahun sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir musim kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai 1000/100.000 penduduk.
Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang disebabkan oleh galur-galur N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat. Wabah yang paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan meyebar ke selatan dan kemudian ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A yaitu subgrup I dan III). Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen India pada tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah, kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di tahun 1996. Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya 16.000 meninggal.
Di banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun. Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET-37. Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak pertengahan tahun 1970-an, derajat serangan penyakit yang relatif tinggi dan persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini beredar di antara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi derajat virulensinya tinggi. Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada tahun 1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Thailand, Spanyol, Cuba, Cili dan Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke Afrika Utara dan Australia. Di Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi wabah yang besar.
Pada saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini merupakan klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa.
Galur yang termasuk ET-37 menyebabkan wabah di antara personil militer di Amerika. Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15 muncul pada akhir tahun 1980-an di Amerika Utara dan menyebabkan meningkatnya angka serangan infeksi meningokokal di daerah ini. Pada sebagian daerah di Amerika, serogrup Y, muncul sejak th 1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus endemis. Sekitar satu-per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan oleh serogrup Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh serogrup B.  Studi epidemiologis dengan metode molekuler telah menunjukan suatu gambaran yang kompleks mengenai kelompok klon meningokokal patogenik yang menyebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia. Namun demikian, mekanisme dengan cara bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas di suatu daerah sedangkan daerah lain tidak terkenai, masih merupakan suatu pertanyaan .


E.
  KLASIFIKASI
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :
1.    Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2.    Meningitis purulenta 
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

FPATOFISIOLOGI
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dan peradangan tersebut adalah : Hiperemi pada meningen. Edema dan eksudasi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
Organisme masuk melalui sel darah merah pada blood brain barrier. Masuknya dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan, atau pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat. Otorrhea atau rhinorrea akibat fraktur dasar tengkorak dapat menimbulkan meningitis, dimana dapat terjadi hubungan antara GSF dan dunia luar.
Masuknya mikroorganisme ke susunan saraf pusat melalui ruang sub arachnoid dan menimbulkan respon peradangan pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel.
Dari reaksi radang muncul eksudat dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan hidrosefalus
Meningitis bakteri, netrofil, monosit, limfosit, dan yang lainnya merupakan sel respon radang. Eksudat terdiri dari bakteri fibrin dan lekosit yang di bentuk diruang subarachnoid. Penumpukan pada CSF disekitar otak dan medula spinalis. Terjadi vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak dapat menjadi infarct.
Meningitis virus sebagai akibat dari penyakit virus seperti meales, mump, herpes simplek dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya tidak terjadi dan tidak ada mikroorganisme pada kultur CSF.


G.   KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi adalah ;
1.        Gangguan pembekuan darah
2.        Syok septic
3.        Demam yang memanjang
4.        Hidrosefalus obstruktif
5.        MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
6.        Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
7.        SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
8.        Efusi subdural
9.        Kejang Edema dan herniasi serebral
10.    Cerebral palsy
11.    Gangguan mental Gangguan belajar
12.    Attention deficit disorder

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.    Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein.cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Meningitis bacterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri.
Meningitis Virus : tekanan bervariasi, CSF jernih, leukositosis, glukosa dan protein normal, kultur biasanya negative
2.    Glukosa & LDH : meningkat
3.    LED/ESRD : meningkat
4.    CT Scan/MRI : melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik
Rontgent kepala : mengindikasikan infeksi intracranial.
5.    Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
6.      MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
7.      Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
8.      Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )

IPROGNOSIS
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau mental atau meninggal tergantung :
1.    umur penderita.
2.    Jenis kuman penyebab
3.    Berat ringan infeksi
4.    Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5.    Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
6.    Adanya dan penanganan penyakit



J. PENEGAKAN DIAGNOSA
Menegakkan diagnosis meningitis otogenik berdasarkan gejala klinis, laboratorium rutin, lumbal punksi, foto mastoid dan pemeriksaan Head CT-scan.
  • Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
  1. Adanya penyakit telinga tengah yang mendasarinya, seperti otitis media dan mastoiditis.
  2. Adanya tanda-tanda dan gejala meningitis, seperti demam, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
  3. Laboratorium rutin:
Adanya peningkatan dari lekosit dan LED [laju endapan darah] yang menunjukkan proses infeksi akut “shift to the left
  • Lumbal Punksi:
Untuk membedakan meningitis bakterial, viral dan jamur.
  • Foto Mastoid
Dapat dilihat gambaran opacity dengan pembentukan pus, hilangnya selulae mastoid, kolesteatoma, dan kadang-kadang gambaran abscess.
  • 5.      Head CT-scan / MRI
Adanya gambaran mastoiditis dan cerebral edema, hidrosefalus, abscess serebral, subdural empyema, dan lain-lain.
Diagnosis meningitis akut bakteri tidak dapat dibuat berdasarkan gejala klinis. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi. Tekanan cairan dukur dan cairannya diambil untuk kultur, pewarnaan gram, hitung jenis, serta menentukan kadar glukosa dna protein. Penemuan ini umumnya diagnostik kultur dan pewarnaa gram dibutuhkan untuk menentukan kuman penyebab. Tekanan cairan serebrospinal biasanya meningkat, tetapi interpretasinya seringkali sulit bila anak sedang menangis.
Umumnya dijumpai leukositosis dengan predominan leukosit PMN, tapi bisa sangat bervariasi. Warna cairan biasanya opalesen sampai keruh, reaksi nonne dan pandy akan positif. Kadar khlorida akan menurun tapi ini tidak selalu terjadi. Kadar glukosa berkurang, umumnya sesuai perbandingan lamanya dan beratnya infeksi. Hubungan antara glukosa dalam cairan serebrospinal dengan glukosa darah sangat penting dalam mengevaluasi kadar glukosa dalam cairan serebrospinal, oleh karena itu sampel glukosa darah diambil kira-kira 30 menit sebelum lumbal pungsi. Konsentrasi protein biasanya meningkat.
Kultur darah dianjurkan pada anak-anak yang dicurigai menderita meningitis. Dijumpai leukositosis, pergeseran ke kiri, dan anemia megaloblastik.
Metode lain yang digunakan untuk mendiagnosa meningitis ini termasuk:
  1. Penghitungan darah dengan lengkap untuk mendeteksi anemia dan infeksi (oleh jumlah WBC yang mengangkat)
  2. Darah budaya untuk mendiagnosis infeksi dan septicaemia
  3. Glukosa darah untuk membandingkannya dengan CSF glukosa
  4. Tes fungsi ginjal dan hati
  5. Tes untuk memeriksa kemampuan pembekuan darah yang memadai
  6. Sinar X dada untuk mendeteksi patologi paru-paru seperti paru-paru abses, tuberkulosis dll.
  7. Urin budaya untuk mendeteksi organisme
  8. Usap hidung dan bangku untuk virologi jika meningitis virus diduga
  9. Seluruh darah real-time PCR pengujian (EDTA sampel) untuk N. meningitidis untuk mengkonfirmasi diagnosis penyakit meningococcal
  10. CT scan atau computed tomography scan dan scan MRI (Magnetic resonance imaging scan) untuk memeriksa tumor otak, abses dan patologi lain.
  11. Tes darah antigen untuk Cryptococcus dan tinta India dan CSF antigen cryptococcal
  12. Darah tes untuk sifilis jika sifilis keterlibatan meninges diduga.
Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan CT-Scan cranium direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Bagaimanapun, pengobatan antibiotik empiris harus dilakukan sebelum CT-Scan dan lumbal punksi dilaksanakan. pada meningitis fase akut, Pemeriksaan CT-Scan biasanya norma. Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran CT-Scan, kecuali pada iskemik yang disebankan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi pada lebih dari 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan penting dan cukup untuk mengetahui kelainan pada basis cranii yang mungkin sebagai penyebab dan menentukan penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan. Sumber infeksi yang potensial diantaranya adalah fraktur sinus paranasal dan os petrosa maupun infeksi telinga bagian dalam dan mastoitis. CT venografi merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk mendiagnosa komplikasi thrombosis sinus sagitalis dan transversa, yang mengharuskan pemberian terapi antikoagulan heparin intra vena, pada stadium lanjut, persistennya tanda-tanda rangsangan meningeal dipikirkan sebagai indikasi untuk CT-Scan untuk menyingkirkan kemungkinan diserapnya hidrosefalus. Jika drainase ventrikuler diperlukan, pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk menentukan waktu operasi berikutnya. pada beberapa kasus, efusi subdural sering ditemukan yang biasanya sembuh dengans endirinya tanpa pengobatan. gambaran parenkim yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis dan akan memperburuk prognosisnya.
Computed tomography (CT) scan sering dilakukan pertama kali untuk mengecualikan kontraindikasi untuk pungsi lumbal. Sayangnya, sementara tekanan intrakranial meningkat dianggap sebagai kontraindikasi untuk pungsi lumbal, CT scan yang normal temuan mungkin tidak cukup bukti tekanan intrakranial yang normal pada pasien dengan meningitis bakteri. Nonenhanced CT scan dan gambar resonansi magnetik (MRI) dari pasien dengan meningitis bakteri akut rumit mungkin biasa-biasa saja.
Saat ini, MRI adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif, karena kehadiran dan luasnya perubahan peradangan di meninges, serta komplikasi, dapat dideteksi. MRI lebih unggul CT scan dalam evaluasi pasien dengan meningitis diduga, serta menunjukkan peningkatan leptomeningeal dan distensi dari ruang subarachnoid dengan pelebaran fisura interhemispheric, yang dilaporkan menjadi temuan awal meningitis parah.  Efusi, hidrosefalus, cerebritis, dan abses dapat dievaluasi dengan baik dengan CT scan dan ultrasonografi (AS) pada bayi, namun, MRI adalah modalitas yang paling efektif untuk melokalisir tingkat patologi. Radiografi dada dapat diperoleh untuk mencari tanda-tanda pneumonia atau cairan di paru-paru, terutama pada anak-anak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin pada kasus meningitis bakterialis tanpa komplikasi. pemeriksaan MRI akan membantu memberikan gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang, perbaikan setelah pemberian godalinum (gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada jaringan otak dan meedula spinalis, namun juga pada LCS, seperti yang pernah dilaporkan pada kasus meningitis spirosetal. penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan MRI sangat berguna pada kasus meningitis tuberculosis. Karena visibilitas gambaran meningen pada T1-weighted lebih bagus terlihat,maka pada meningitis tuberculosis sangat dianjurkan untuk diperiksa dengan cara ini. hal ini sangat penting untuk memulai pengobatan tuberculosis tersebut karena angka morbiditas dan mortilitasnya masih sangat tinggi. penelitian terbaru mengatakan bahwa dengan terapi adjuvan deksametason pada kasus meningitis tuberculosis dewasa mampu menurunkan morbidtas, namun tidak mampu mencegah hendaya.
Pada kasus komplikasi berupa kejang dan disertai dengan gejala-gejala fokal, MRI lebih baik jika dibandingkan dengan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim pada kasus meningoensefalitis atau komplikasi vaskulitis akibat rentetan FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery). Pada penyakit Lyme, multifocal nonenhancing patchy lesions dapat dilihat pada T2 W1. bersamaan dengan dugaan pada riwayat penyakit dan kelainan patologis LCS, pemberian ceftriaxone intravena harus segera dilakukan selama 21 hari. informasi tambahan bisa dilakukan pada pemeriksaan Diffusion Weighted Imaging (DWI). lesi inflamasi akut, termasuk ensefalitis, cerebritis dan tuberculosis akan terlihat gambaran hiperintens. Neurocystecerosis akan terlihat hipointens pada DWI. diagnosis Neurocystecerosis bisa ditegakkan dengan neuroimaging. operasi pembukaan jaringan otak dan biopsy stereotaxic tidak diperlukan. lesi yang timbul akan menghilang dengan pemberian praziquantel atau mebendazol. Gambaran toxoplasmosis bervariasi pada pemeriksaan DWI. Pengobatan harus segera dilakukan, dan respon etradap pemberian dilakukan dengan pemeriksaan ulang setelah 4 minggu.
Beberapa pathogen berpredileksi pada lekukan batang otak, dan akan Nampak pada pemeriksaan MRI. khususnya, pada pasdien rhombensefalitis akibat Listeria monositogen, perlu pemberiana ntibiotik yang sesuai termasuk ampisilin. Neurobrecellosis menunjukkan gambaran yang bervariasi, mulai dari normal hingga inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau komplikasi vaskuler. pengobatan penyakit ini berupa terapi empiris.
Komplikasi vascular harus di pikirkan pada pasien dengan perburukan kondisi, walaupun telah diterapi. Pada kasus ini, pemeriksaan DWI lebih sensitive jika dibandingkan dengan MRI standar dalam menentukan defisit yang minimal pada korteks, atau infakr pada substansia alba yang dalam akibat vaskulitis sepsis. Magnetic Resonsnce Angiography (MRA) mampu menyingkirkan atau menegakkan diagnosis vaskulitis yang akan membantu klinisi memutuskan pemberian steroid dosis tinggi. penelitian terbaru menyatakan bahwa pemberian steroid dosis tinggi sebelum pemberian antibiotik mampu memberikan hasil yang lebih baik, tanpa meningkatkan efek perdarahan saluran cerna.
Ventrikulitis piogenik merupakan kasus yang jarang ditemukan namun sangat berakibat fatal sehingga perlu penegakan diagnosis dan terapi yang cepat. Neuroimaging merupakan satu-satunya alat yang dipercaya untuk menegakkan penyakit yang mengancam jiwa ini. MRI FLAIR lebih sensitif dengan menggambarkan periventrikuler, kelainan ependimal dan pada beberapa kasus juga pada pial atau kelainan dura-arachnoid. Debris yang ireguler pada intraventikuler merupakan gambaran yang spesifik. MRI diperlukan untuk mengetahui ruptur intraventrikuler akibat abses piogenik. terapi antibiotik intravena dosis tinggi harus diberikan selama beberapa minggu.Pada kasus yang etrjadi perburukan kondisi pasien walaupun telah diberikan terapi antibiotic intravena dosis tinggi, tindakan Ommaya harus dilakukan.
Dalam kasus rumit meningitis purulen, awal CT scan dan MRI biasanya menunjukkan temuan normal atau ventrikel kecil dan penipisan dari sulci. Nilai CT scan dalam diagnosis awal subdural empiema terbatas karena adanya artefak tulang.
Peningkatan meninges terlihat pada kontras ditingkatkan CT scan dan MRI dalam kasus-kasus meningitis bakteri. Namun, peningkatan meningeal yang spesifik dan juga bisa disebabkan oleh 5 subkelompok berikut etiologi yang berbeda:
  1. Infeksi
  2. Carcinomatous meningitis
  3. Reaktif (misalnya, bedah, shunt, trauma)
  4. Kimia (misalnya, pecah kista dermoid dan cysticercoid, intratekal kemoterapi)
  5. Inflamasi (misalnya, sarcoidosis, penyakit kolagen vaskular
K. TERAPI
Tujuan terapi adalah menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda-tanda dan gejala serta mencegah kerusakan neurologik seperti kejang, tuli, koma dan kematian.
Prinsip umum terapi
  1. Pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi penunjang lain yang penting untuk pasien penderita meningitis akut
  2. Terapi antibiotika empirik harus diberikan  sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan
  3. Meningitis yang disebabkan oleh S pneumonia, N meningitidis, H influenza dapat sukses diterapi dengan antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian lbih lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi L monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik. Terapi seharusnya secara idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi antibiotik lebih lama.
Terapi Farmakologi
  1. Peningkatan inflamasi selaput otak akan meningkatkan penetrasi antibiotik. Masalah penetrasi AB dapat diatasi dengan pemberian AB langsung secara intratekal, intrasisternal, atau intraventrikuler.
  2. Faktor2 yang memperkuat penetrasi ke CSS adalah BM yang rendah, molekul yang tidak terion, kearutan dalam lemak, dan ikatan protein yang kecil.
  3. Deksametason sebagai terapi adjuvan, juga sering digunakan pada kasus meningitis anak, karena dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada konsentrasi glukosa dan laktat CSS serta juga mnurunkan dengan nyata kejadian gangguan neurologi yang umum berkaitan dengan meningitis
  4. The american academy of pediatric menyarankan penggunaan deksa untuk bayi dan anak berusia 2 bulan atau lebih tua yang menderita meningitis pneumokokus dan meningitis H influenza. Dosis umum deksa Iv adalah 0,15 mg/kg setiap 6jam selama 4 hari. Atau deksa 0,15 mg/kg setiap 6jam untuk 2 hari atau 0,4 mg/kg setiap 12 jam untuk 2 hari, efektifitasnya sebandig dan kurang menimbulkan toksisitas potensial.
  5. Deksa harus diberikan sebelum dosis pertama AB dan Hb dan tinja guaiak (pucat) harus dimonitor untuk mengethui pendarahan saluran cerna.
Pada jam-jam pertama, penderita harus diamati secara intensif karena shock dapat terjadi setelah penderita mendapat antibiotika. Perlu diingat bahwa mengikuti perkembangan (monitor) tekanan darah sistolik pada penderita anak-anak tidaklah memadai untuk dapat mengawasi terjadinya shock. Indikator yang lebih baik adalah: tekanan darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler yang terlambat, ekstrimitas yang dingin, dan takikardia. Terapi antibiotika harus dimulai sedini mungkin. Keprihatinan bahwa pemberian antibiotika yang dini menyebabkan bertambah buruknya keadaan klinik penderita karena antibiotika (terutama dari golongan β-lactam) menginduksi pelepasan endotoksin belum pernah terbukti secara klinis. Sebaliknya, penundaan terapi antibiotika dapat berakibat meningkatnya proses-proses bakteriologis dan menyebabkan response peradangan yang berakibat buruk. Bilamana pemberian antibiotika dilakukan pada waktu penyakit telah berjalan lanjut misalnya pada saat lesi iskemik telah berjalan, lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek antibiotika.
Penanganan shock perlu dilakukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Oleh karena disamping terjadi kebocoran kapiler secara ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti oleh depresi kardiac yang berat sehingga dapat timbul kongesti pulmonal, maka jumlah pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara umum, suport inotropik dan vasopresif dibutuhkan sejak awal penyakit. Hipoglikemia mungkin ditemukan pada bayi, dan ini perlu segera dikoreksi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan FMS masih bersifat kontroversial. Sampai awal tahun 1980-an, pemakaian glukokortikoid secara luas diterima sebagai terapi baku yang dapat menurunkan angka kematian pada infeksi meningokok .
Pada keadaan di mana tidak ada ancaman untuk terjadinya hernia serebral atau shock, pengobatan meningitis meningokok secara relatif lebih sederhana dan hanya membutuhkan antibiotik parenteral serta pengawasan yang intensif dari penderita.
Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu diagnosa ditegakkan. Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni penatalaksanaan konservatif/ medikal dan operatif.
1.      Terapi Konservatif/Medikal
a.      Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut ini pilihan antibiotika atas dasar umur :
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
Beberapa dosis obat antibiotika berdasarkan identifikasi kuman.
b.      Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal.
Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15 mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld (1995) menganjurkan pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.
2.      Terapi Operatif
Penanganan fokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan mastoidektomi harus dapat menjamin eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi bakteri. Selain itu juga dapat dilakukan tindakan thrombectomi, jugular vein ligation, perisinual dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan memberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis media.







DAFTAR PUSTAKA
Lesmana, Murad. 2000. Epidemiologi, patogenesis dan gambaran klinis dari infeksi meningokok. Diakses tanggal 6 November 2012 dari URL : http://www.google.co.id/url?sa=f&rct=j&url=http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Vol.19_no.3_2.pdf&q=epidemiologi+meningitis&ei=a12bULGvD8j4rQeVy4HgCQ&usg=AFQjCNH32lN8FLFVLP3rJR30XjU3ZZoWvw
Rochem. 11 Januari 2012. Makalah Penyakit Meningitis. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://rochem.wordpress.com/2012/01/11/makalah-penyakit-meningitis/
Anonim. 12 April 2012. Gejala dan Terapi Meningitis. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://www.informasiobat.com/22-Gejala-dan-Terapi-Meningitis.html
Anonim. Maret 2011. Makalah Infeksi Sistem Saraf Pusat. Diakses tanggal 8 November 2012 dari URL : http://onlineallarticles.blogspot.com/2011/03/makalah-infeksi-sistem-saraf-pusat.html
http://health.liputan6.com/read/672372/meningitis-radang-selaput-otak-dan-sumsum-tulang-belakang#sthash.JlVy7xCf.dpuf



Tidak ada komentar:

Posting Komentar